Surat Pastoral 20 November 2011
Kemarahan adalah perasaan yang biasa muncul ketika seseorang menghadapi ancaman, hinaan, ketidakadilan atau kekecewaan. Namun, karena keadaan kita yang sudah jatuh ke dalam dosa, kita sering meresponi perasaan itu dengan cara berbuat dosa.
Salah satu respon berbuat dosa yang umum adalah menyimpan kemarahan sampai menjadi bagian karakter kita. Kemarahan dibiarkan terus bersemayam di dalam diri, akan mengacaukan pikiran dan perasaan. Damai dan sukacita kita hilang, karena keduanya tak mungkin hadir bersama-sama dengan kecemasan dan kekecewaan yang menyertai kepahitan.
Setelah meracuni karakter, kemarahan akan merambah ke aspek hubungan. Kata-kata menyakitkan akan terlontar ibarat panah-panah api, bahkan kepada orang-orang yang tidak menyebabkan kemarahan itu. Selanjutnya, benteng pertahanan diri dipertebal untuk menghindari sakit hati. Hubungan menjadi renggang, tegang dan berujung pada pengasingan diri.
Selain merusak karakter dan hubungan dengan orang lain, akibat paling tragis dari kemarahan adalah hancurnya persekutuan dengan Allah. Kemarahan tidak saja menghalangi karyaNya di dalam dan melalui orang percaya, tetapi juga mendukakan hati Bapa. Bapa rindu mencurahkan berkat kepada anak-anakNya, tetapi tangan yang terkepal penuh amarah tidak akan dapat menerima kekayaan karakter dan panggilan Allah.
Apakah kita menyimpan kemarahan? Kemarahan itu mungkin tersembunyi begitu dalam di jiwa kita sampai kita tak menyadari keberadaannya. Tetapi kepahitan yang menetap dan tak terselesaikan akan mempengaruhi setiap aspek kehidupan kita. Untuk itu kita harus meminta Allah menyingkapkan setiap kemarahan dan kepahitan yang tersembunyi. Buanglah itu dan gantilah dengan memiliki segala kekayaan Kristus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan menuliskan komentar Anda. Kami akan segera menanggapinya. Terimakasih, Tuhan memberkati.